Dalam pertemuan Jamnia itu mereka menetapkan berbagai hal, termasuk tentang kitab suci. Adapun beberapa penetapan mereka tentang Kitab Suci yaitu:
Setelah menetapkan kaidah-kaidah tersebut, bangsa Yahudi hanya menerima kitab-kitab yang memenuhi kriteria itu sebagai kanon. Mereka pun menetapkan kanon baru Kitab Suci Perjanjian Lama yang baru dan menolak tujuh kitab dari Kanon Alexandria yaitu: Tobit, Yudit, Kebijaksanaan Salomo, Sirakh, Barukh, 1 dan 2 Makabe, serta tambahan-tambahan dari kitab Ester dan Daniel. Kanon baru yang ditetapkan itu dikenal dengan nama Kanon Jamnia.
Nah, Gereja (waktu itu masih satu) tidak mengakui kanon yang ditetapkan oleh para imam Yahudi itu. Gereja tetap menggunakan kanon Alexandria sebagai daftar kitab suci yang resmi.
Pada tahun 393 Masehi, Gereja menggelar pertemuan di Hippo yang dikenal dengan nama Konsili Hippo, dan pertemuan di Kartago (tahun 397) yang dikenal dengan nama konsili Kartago. Dari kedua konsili itu, Gereja secara resmi menetapkan 46 kitab hasil dari Kanon Alexandria sebagai kanon kitab-kitab Perjanjian Lama.
Selama enam belas abad, kanon Alexandria diterima oleh Gereja. Masing-masing kitab yang ditolak oleh Kanon Jamnia itu tadi dikutib oleh bapa-bapa Gereja sebagai Kitab Suci yang setara dengan kitab-kitab Perjanjian Lama. Bapa-bapa Gereja yang dimaksud antara lain: St. Polycarpus, St. Ireneus, Paus St. Clement, dan St. Cyprianus.
Ketika Gereja-Gereja Protestan lahir, mereka menggunakan kitab suci Perjanjian Lama versi Kanon Jamnia. Sedangkan ketujuh kitab yang tidak termasuk dalam kanon Jamnia mereka terima sebagai bacaan suci, namun bukan kitab suci.
Selanjutnya dalam Gereja Katolik, kanon pertama (Jamnia) dikenal dengan nama Protokanonika sebab kanon itu ditetapkan pada awal kekristenan. Sedangkan kanon yang menetapkan ketujuh kitab itu sebagai kitab suci dikenal dengan nama Deuterokanonika yang berarti kanon kedua.
Itulah sebabnya mengapa jumlah kitab suci Perjanjian Lama antara Gereja Katolik dan Protestan berbeda. Gereja Katolik memiliki 7 kitab Perjanjian Lama yang lebih banyak dari Protestan.
Penulis adalah Guru Agama Katolik di SMA Swasta Santu Xaverius Gunungsitoli, Sumatera Utara
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Lihat Filsafat Selengkapnya
Mungkin sudah banyak yang tahu bahwa meskipun lahir dari "rahim" yang sama, ternyata ada banyak perbedaan antara Gereja Katolik dengan Gereja-Gereja Protestan.
Salah satu perbedaannya adalah jumlah Kitab Suci yang diterima. Perbedaan jumlah Kitab Suci itu khususnya ada dalam Perjanjian Lama. Gereja Katolik memiliki 46 kitab Perjanjian Lama sedangkan Protestan hanya 39 kitab.
Perbedaan jumlah kitab Perjanjian Lama antara Katolik dan Protestan ini sangat terkait erat dengan proses kanonisasi Kitab Suci. Maka untuk membahas perbedaan tersebut, kita harus ingat tentang kanon Kitab Suci.
Kata Kanon berasal dari bahasa Yunani yaitu "canon" yang artinya norma, ukuran dan pedoman. Sedangkan kitab-kitab yang berada dalam kanon disebut kitab-kitab kanonik, yakni kitab-kitab yang telah ditetapkan secara resmi sebagai kanon. Kitab-kitab kanonik tersebut diakui secara resmi sebagai Kitab Suci yang sah dan dijadikan sebagai patokan atau pedoman iman mereka.
Pada awalnya kitab-kitab Perjanjian Lama itu ditulis dalam bahasa Ibarani. Setelah orang-orang Yahudi diusir dari tanah Palestina, mereka tinggal di berbagai tempat dan beranak-cucu di sana. Akibatnya, mereka kehilangan bahasa aslinya.
Banyak keturunan mereka tidak lagi menggunakan bahasa Ibarani, tetapi mereka lebih mengenal bahasa Yunani yang saat itu digunakan sebagai bahasa lintas bangsa (mungkin bisa dikatakan sebagai bahasa internasional saat itu).
Maka dari itulah mereka sangat membutuhkan terjemahan Perjanjian Lama dalam bahasa Yunani. Proyek penerjemahan Perjanjian Lama dari bahasa Ibrani ke bahasa Yunani mulai dikerjakan pada masa pemerintahan Ptolemius II Philadelphus (285-246 SM) oleh 70 ahli kitab Yahudi. Mereka adalah wakil dari 12 suku Israel, dan setiap suku diwakili oleh 6 orang ahli kitab.
Proyek penerjemahan ini dikerjakan sekitar tahun 150-125 SM, 25 tahun. Proyek ini dinamakan Septuagint (=septuaginta) yang berarti tujuh puluh (LXX) sesuai dengan jumlah penerjemahnya.
Kitab ini sangat populer dan dikenal sebagai kitab yang resmi. Kitab yang dihasilkan oleh proyek ini disebut Kanon Alexandria karena dikerjakan di Alexandria.
Setelah Yesus disalibkan dan wafat, para pengikut-Nya tidak menjadi punah. Sebaliknya mereka terus berkembang. Pada tahun 100 sesudah Masehi, para imam Yahudi berkumpul di Jamnia, Palestina sebagai reaksi mereka terhadap perkembangan umat Kristen abad pertama itu.
Lihat Filsafat Selengkapnya
JAKARTA, Pena Katolik – Sepintas, Alkitab Katolik dan Protestan terlihat sama, dengan kitab-kitab dasar yang sama dikumpulkan bersama dalam satu volume. Namun, jika dilihat lebih dekat, Alkitab Protestan kehilangan beberapa kitab yang termasuk dalam Alkitab Katolik.
Pertama, orang-orang Kristen tidak memiliki satu pun volume teks yang diilhami selama kira-kira 300 tahun pertama. Penciptaan dan kompilasi Alkitab adalah proses yang panjang. Para pemimpin Gereja mula-mula menyaring banyak manuskrip dan membedakan, menggunakan beberapa kriteria historis, doktrinal, dan teologis yang berbeda, kitab mana yang harus disimpan dan dimasukkan dalam kanon, dan kitab mana yang harus disisihkan.
Perjanjian Lama sebagian besar didasarkan pada terjemahan Yunani dari teks-teks Ibrani yang diterima secara luas sebagai terjemahan yang sah (dan bahkan diilhami). Ini dikenal sebagai “Septuaginta” (dari kata Yunani untuk 70) dan sangat populer di kalangan orang Yahudi berbahasa Yunani.
Persetujuan kitab-kitab mana yang akan dimasukkan dalam Perjanjian Baru dimulai dengan Konsili Laodikia pada tahun 363, dilanjutkan ketika Paus Damasus I menugaskan St. Jerome menerjemahkan Kitab Suci ke dalam bahasa Latin pada tahun 382, dan diselesaikan secara pasti selama Sinode Hippo (393) dan Kartago (397).
Tujuannya adalah untuk mengabaikan semua karya keliru yang beredar pada saat itu dan menginstruksikan Gereja-Gereja setempat tentang kitab-kitab mana yang boleh dibacakan dalam Misa.
Sebagai hasil dari sinode-sinode ini, Alkitab tetap tidak berubah sampai reformasi Protestan.
Setelah abad ke-16, setiap pemimpin Protestan utama memiliki interpretasi yang berbeda mengenai iman Kristen dan peran Alkitab. Ini mengarah pada proses di mana berbagai kitab dalam Alkitab dihapus karena “ketidaksesuaian” mereka dengan kepercayaan Protestan.
Selanjutnya, Protestan biasanya menggunakan daftar kitab-kitab Perjanjian Lama yang disetujui oleh para sarjana Ibrani di kemudian hari, mungkin pada abad ke-2 atau ke-3 Masehi. Katolik, di sisi lain, menggunakan Septuaginta Yunani sebagai dasar utama untuk Perjanjian Lama.
Ini berarti bahwa Alkitab Protestan hanya memiliki 39 kitab dalam Perjanjian Lama, sedangkan Alkitab Katolik memiliki 46. Tujuh kitab tambahan yang termasuk dalam Alkitab Katolik adalah Tobit, Judith, 1 dan 2 Makabe, Kebijaksanaan, Sirakh, dan Baruch. Kanon Katolik juga mencakup bagian dari Kitab Ester dan Daniel yang tidak ditemukan dalam Alkitab Protestan.
Beberapa Alkitab Protestan masih memasukkan kitab-kitab ini, sementara yang lain tidak. Karena ada banyak denominasi Protestan di seluruh dunia, daftarnya bervariasi sesuai dengan praktik masing-masing gereja Kristen.
Bapak Pengasuh, Saya ingin menyampaikan pertanyaan seputar apa yang saya amati dari teman-teman di Katolik,yaitu:1. Mengapa Katolik tetap memakai cara doa dalam tri tunggal seperti menyalibkan diri (tiga titik: kepala, bahu kiri dan kanan) sedangkan Protestan tidak.2. Mengapa Katolik salibnya selalu ada patung Yesus, sementara Protestan tidak. Demikian pertanyaan saya, semoga Bapak dapat menolong saya untuk memahami hal ini. Salam
Benyamin TambubolonPalembang
Benyamin yang dikasihi Tuhan, menyenangkan bisa berinteraksi dengan anda melalui Tabloid tercinta, Reformata. Saya berharap selama menjadi pembaca, anda mendapatkan banyak berkat dan percerahan atas kehadiran Reformata. Jarak yang jauh, antara Jakarta dengan Palembang tak menghalangi kita untuk saling menyapa lewat rubrik ini. Pertanyaan anda mengenai doa umat katolik yang Anda sebut sebagai doa dalam tri tunggal, lalu membandingkannya dengan ritual doa protestan, menurut Saya cukup menggelitik dan layak untuk kita ulas, dengan harapan, semakin memperkaya wawasan pikir kita bersama. Karena menjadi sebuah perenungan yang penting, apakah jika protestan tidak melakukan, maka yang melakukan menjadi salah. Atau tidak lazim? Saya pikir sebuah cara doa bukanlah sebuah keharusan, tetapi berdoa, ya. Artinya, berdoa memang harus. Semua orang Kristen sudah seharusnya berdoa kepada Allah yang maha kuasa. Ini tidak bisa dibantah dan saya percaya, umat katolik dan protestan pasti sama sikapnya dalam hal ini. Di dalam Perjanjian Lama (PL), tentang apa itu doa sangatlah jelas. Umat bergumul dalam doanya kepada Allah. Ada doa berupa permintaan (kebutuhan hidup, atau perlindungan), atau juga doa pengakuan dosa (pribadi atau bangsa). Sementara dalam Perjanjian Baru (PB) Tuhan Yesus bahkan secara khusus mengajarkan Doa Bapa kami (Matius 6:9-13). Rasul Paulus juga mengingatkan orang percaya agar berdoa senantiasa. Tidak berbeda, Yakobus juga berkata; Doa orang benar besar kuasanya (Yakobus 5:16). Nah, sekarang soal cara berdoa. Di dalam PL umat Israel berdoa dengan mengangkat tangannya keatas. Dan, Yunus di dalam perut ikan (Yunus 2: 1), pastilah dalam posisi terlentang atau tengkurap. Hizkia berdoa dengan memalingkan wajahnya (2 Raja-raja 20: 2). Sementara Tuhan Yesus di gambarkan dalam kitab Matius berdoa dengan bersujud (Matius 26: 39). Artinya, ada banyak cara berdoa di dalam Alkitab. Tampaknya selalu berkaitan dengan suasana hati atau peristiwa yang ada di sekitar orang yang berdoa. Tuhan, tak marah atau mencela cara berdoa umat Nya. Celaan Tuhan terhadap doa lebih terkait dengan sikap hati yang munafik. Tampak berdoa tapi bukan dengan kerendahan hati, malah sebaliknya, agar dipuji orang. Orang Farisi seringkali dikritik Yesus Kristus soal kemunafikan ini. Jadi jelas sekali, Alkitab mengajarkan kita harus berdoa, sementara cara berdoa adalah kekayaan ekspresi. Katolik berdoa dengan simbol Tri tunggal (atas nama Bapa, Putra dan Roh Kudus), bagi saya sangat indah. Iman terhadap Allah Tri tunggal diwujudkan dalam cara doa. Sebuah pengakuan atas kasih Allah yang menebus kita melalui Kristus dan dengan pertolongan Roh kudus, sehingga karya keselamatan sejati dari Allah Tri tunggal menjadi nyata dalam kehidupan ini. Tak ada yang salah dengan cara ini, sekalipun cara ini tak membuat doa menjadi luar biasa, melainkan sikap hatilah yang mutlak penting. Sementara protestan yang tidak melakukannya, ini lebih karena perjalanan sejarah. Ada benturan teologis yang memang prinsip pada waktu lampau. Namun persoalan teologis yang prinsip sering merembet hingga soal cara yang sesungguhnya tidak prinsip. Untuk itu alasan pembenaran pun dibuat. Sama seperti umat protestan, sama-sama menyanyi memuji Tuhan, tapi ada yang tepuk tangan dan ada yang tidak. Padahal, ini lebih soal kultural, bukan doktrinal yang prinsip. Jadi umat katolik berdoa dengan tanda Tri tunggal, dan protestan tidak, itu karena persoalan perbedaan di masa lalu. Dan itu meliputi banyak aspek, hingga pemakaian lilin dalam doa dan lain sebagainya. Semangatnya, pokoknya berbeda. Padahal, ini bukan persoalan yang prinsip, tapi dibuat menjadi prinsip. Persoalan masa lalu janganlah kiranya mengganggu di masa kini. Dan sudah waktunya, kita saling belajar dan menikmati kekayaan yang indah dalam perbedaan yang ada. Bagi saya pribadi, berdoa dengan tanda Tri tunggal itu tak masalah. Hanya saja, sebagai seorang protestan saya tak perlu membuat masalah baru lagi diinternal protestan, dengan berdoa dan mengakhirinya dengan tanda Tri tunggal. Ingat, karena ini bukan soal yang prinsipil. Dalam lingkungan umat protestan sendiri pun cara berdoa sangat beraneka ragam, bahkan kontras, sekalipun tidak memakai tanda Tri tunggal. Di lingkungan umat protestan ada yang berdoa dengan tangan terangkat ke atas. Lalu ada dengan tangan yang menengadah. Ada yang berlutut, dan ada juga yang berdoa dengan mata terbuka. Juga ada yang selalu menangis setiap kali berdoa. Semua mempunyai alasan, namun bukan alasan yang prinsip.Begitu juga dengan soal salib. Simbol Salib di kalangan umat protestan umumnya tidak dibuat gambar atau wujud Yesus dengan alas an, Yesus tidak tersalib lagi melainkan sudah bangkit. Dia tidak ada di salib, ini alasan yang dipakai. Alasan ini masih bisa diperpanjang. Sementara bagi umat katolik, Yesus tersalib memang adalah fakta yang ada dan bukti kasih dalam penebusan dosa. Lagi-lagi, sejatinya, tidak ada yang prinsip. Tapi kembali sentimen masa lalu yang memunculkan semangat, pokoknya harus beda. Memang masih ada perbedaan doktrinal yang tergolong prinsip yang masih menjadi PR bersama. Tapi jangan lupa, di kalangan umat protestan perbedaan denominasi juga diwarnai perbedaan doktrin yang cukup serius. Karena itu soal perbedaan ritual dan doktrinal harus dibagi dengan jelas, dan jangan membuatnya menjadi rancu. Diperlukan kebesaran jiwa dan kerendahan hati untuk saling belajar, tanpa harus terkurung oleh bayang-bayang masa lalu. Tanpa disadari, sebetulnya perbedaan itu tampak sirna pada banyak sisi. Misalnya soal salib yang ada Tuhan Yesus, ada banyak gereja protestan yang menggunakannya. Apalagi jika berbicara soal lukisan, sangat banyak lukisan Yesus yang tersalib dilingkungan protestan. Jika konsisten dengan konsep Yesus sudah tidak tersalib lagi karena sudah bangkit, maka lukisan pun seharusnya tidak boleh. Nah, jelas sekali ini soal masa lalu dan bukan soal prinsip. Karena itu, lewat pertanyaan saudara Benyamin, mari kita jadikan ini momentum pembelajaran. Belajar berdialog dan bersahabat antara umat katolik dan umat protestan yang sama-sama mengaku pengikut Yesus Kristus. Tak lagi terjebak membesarkan perbedaan masa lalu, namun wajib mempelajari latar belakangnya. Menemukan makna yang sesungguhnya, sejarah yang sebenarnya, dan mereformasi gereja secara bersama, baik dilingkungan gereja katolik maupun protestan. Belajar mendekatkan diri, karena itulah ciri-ciri khas dari gereja sebagai tubuh Yesus Kristus yang sejati. Perbedaan bukanlah malapetaka, bisa jadi itu kekayaan yang tersembunyi. Namun, di saat yang bersamaan perbedaan yang prinsipil memang tak bisa diabaikan begitu saja. Harus dijadikan bahan diskusi, dan belajar menemukan kebenarannya di dalam Firman Tuhan, biarlah Firman Tuhan yang menjadi alat ukur terhadap semuanya. Bukankah itu indah?Akhirnya, Benyamin yang dikasihi Tuhan, selamat menikmati perbedaan yang ada. Sangat perlu kita belajar dengan hati-hati untuk mencermati dan membagi mana yang prinsip dan mana yang tidak prinsip. Marilah kita saling memperkaya dalam perbedaan yang tidak prinsip dan berdiskusi dengan ramah untuk hal yang prinsip. Indah bukan. Tuhan memberkati kita semua.
Kemarin, 20 Juni 2023 saya mendapat sebuah info yang cukup mengejutkan. Melalui WA, seorang ibu memberitahukan bahwa anaknya yang selama ini mendapatkan dana ASAK Gregorius (Ayo Sekolah-Ayo Kuliah), sudah menyatakan diri untuk keluar dari Gereja Katolik. Anaknya sudah dibaptis beberapa waktu yang lalu di salah satu gereja Kristen Protestan. Dari informasi yang saya peroleh ini, sempat saya bertanya lanjut pada ibunya, mengapa begitu gampang tergoda untuk masuk Protestan? Jawaban dari ibunya bahwa itu sudah menjadi panggilan. Panggilan? Saya mencoba merenung sejenak, model panggilan seperti apa yang diterima oleh anaknya itu.
Secara pribadi tentu keputusan ini mengecewakan saya dan teman-teman pengurus ASAK yang selama ini berjuang untuk menyelesaikan pendidikan di sekolah menengah atas. Saya cukup tahu kondisi ekonomi keluarga yang rapuh karena hantaman Covid. Atas kondisi ekonomi yang lemah inilah maka saya memberanikan diri untuk mengikutsertakan anaknya ke ASAK Gregorius. Menurut pengakuan ibunya bahwa ASAK sangat membantu anaknya untuk meringankan beban keuangan keluarga. Jerih payah para pengurus ASAK ini berakhir dengan kekecewaan karena anaknya lebih memilih gereja lain ketimbang Gereja Katolik.
Peristiwa yang dialami oleh salah satu anggota ASAK menggugah saya untuk berdiskusi dengan salah seorang pengurus PSE Paroki Kutabumi. Menurut pantauannya bahwa banyak umat Katolik, sejak pandemi mulai mencari gereja lain (Gereja Kristen Protestan) untuk beribadah. Tak hanya kegiatan doa dan ibadah saja yang dicari tetapi juga tawaran bahan kebutuhan pokok menjadi sebuah daya tarik tersendiri. Cukup banyak orang Katolik tetap bertahan sebagai umat Katolik tetapi juga mengikuti kegiatan di gereja Prostestan. Mereka bermain “dua kaki” untuk mendulang bahan kebutuhan hidup. Dari obrolan ini memunculkan sebuah pertanyaan. Begitu gampangnya orang Katolik berpindah ke agama lain hanya karena diiming-iming sembako dan kebutuhan lain?
Dari penuturan lepas dengan beberapa orang, banyak orang, baik Katolik maupun Kristen Protestan menganggap sama antara kedua agama ini. Pemahaman yang minim ini akan memberikan dampak yang kurang baik pada penerapan hidup keagamaan. Apa bedanya antara agama Katolik dan Kristen Protestan?
Harus dipahami perbedaan mendasar secara teologis antara Katolik dan Protestan. Marthin Luther (1483-1546) menjadi tokoh penting karena berhasil memisahkan diri dengan Gereja Katolik dan mendirikan gereja sendiri. Beberapa catatan sederhana ini mungkin membantu pembaca untuk memahami perbedaan mendasar dan tidak lagi memandang sama kedua agama ini.***(Valery Kopong)
Hubungan Katolik–Protestan mengacu kepada relasi sosial, politik, dan teologi, serta dialog antara umat Kristen Katolik dan Protestan.
Relasi ini bermula pada abad ke-16 dengan munculnya Reformasi dan Protestantisme. Ada lebih dari satu faktor yang berkontribusi bagi kemunculan Reformasi Prostestan, khususnya ketidaksepamahan mengenai hakikat keselamatan, dan dengan demikian juga ketidaksepahaman dalam beberapa doktrin, antara lain penjualan indulgensi. Ketidaksepahaman ini bermuara pada skisma ketika golongan Protestan memutuskan untuk berpisah dari Gereja Katolik, sehingga diselenggarakanlah Konsili Trente (tahun 1545–1563) yang memperjelas pendekatan Katolik terhadap Protestantisme semenjak saat itu, dengan menakrifkan segala bentuk Protestantisme sebagai haeresis. Serentet peristiwa penting menyusul dan memecah-belah Eropa, menyebabkan beberapa negara mengganti agama resminya dari Katolik menjadi Protestan. Meskipun demikian, banyak orang di negara-negara itu tetap teguh memeluk agama Katolik, bahkan di beberapa tempat terjadi arus balik ke dalam Gereja Katolik sebagai buah Kontra Reformasi. Sebagian besar skisma dan peristiwa yang ditimbulkan Reformasi Protestan dapat dikatakan penuh dengan kekerasan dan gejolak.
Sengketa teologis Katolik–Protestan tercipta pada tahun 1517 dengan terbitnya Sembilan Puluh Lima Dalil Martin Luther, berisi sembilan puluh lima gugatan terhadap doktrin Katolik, antara lain pembedaan rohaniwan dan awam, monopoli Gereja atas tafsir Kitab Suci, penjualan indulgensi, dan hakikat keselamatan.[3]
Pemahaman Martin Luther tentang keselamatan merupakan salah satu penyimpangan radikal dari dogma Katolik. Martin Luther menegaskan bahwa keselamatan orang Kristen adalah anugerah cuma-cuma dari Allah. Bertolak dari pemahaman inilah Martin Luther mengecam penjualan indulgensi sebagai sarana yang dapat digunakan orang untuk mencapai surga. Ia menitikberatkan pentingnya suatu proses keselamatan yang berkiblatkan iman, berbeda dari keselamatan berkiblatkan amal saleh yang menurutnya diajarkan oleh Gereja Katolik. Pendirian tersebut juga menimbulkan pergeseran dalam pemahaman tentang rahmat.[3] Doktrin Protestan ini dikenal dengan sebutan sola fide (iman saja).[4]
Advokat Prancis Yohanes Kalvin merumuskan teologi keselamatan Kalvinis. Jika Martin Luther berpendirian bahwa keselamatan tersedia bagi semua orang, maka Yohanes Kalvin memperkenalkan doktrin predestinasi. Bertolak dari gagasan bahwa kehendak bebas insani sudah menjadi hamba dosa, dan keselamatan adalah karya Allah semata-mata (bukan usaha manusia), Yohanes Kalvin menegaskan bahwa orang-orang tertentu sudah ditakdirkan untuk masuk surga, dan orang-orang selain mereka sudah ditakdirkan untuk tidak masuk surga.[5]
Dasar penting bagi doktrin-doktrin kedua belak pihak adalah hakikat kewenangan mereka. Dalil-dalil Protestan bertumpu pada pendirian bahwa Kitab Suci adalah satu-satunya landasan doktrin Kristen (sebagaimana diyakini oleh golongan Lutheran) atau pendirian bahwa Kitab Suci adalah sumber utama doktrin Kristen (sebagaimana diyakini oleh golongan Anglikan dan Metodis).[6][7][8][9][10] Semuanya itu telah memunculkan kecaman keras terhadap pendirian Gereja Gerej katolik yang menyejajarkan Kitab Suci dengan Tradisi Suci, dan menganggap kedua-duanya sama-sama diwahyukan Allah dan sama-sama mengikat.[10] Gereja Katolik memandang dirinya sendiri sebagai "satu-satunya Gereja sejati" yang didirikan Yesus demi keselamatan umat manusia.
Pada abad ke-16, timbul gerakan Reformasi yang melahirkan Protestantisme sebagai suatu entitas yang berbeda dari Katolik. Gereja Katolik menanggapi dengan mencetuskan proses reformasinya sendiri yang disebut "Kontra Reformasi" dan berpuncak pada Konsili Trento. Konsili inilah yang bertanggung jawab atas beberapa perubahan amalan dan klarifikasi doktrin.[11] Meskipun demikian, kedua belah pihak tetap sangat berlainan satu sama lain.
Sesudah bertahun-tahun gagasan Martin Luther tersebar, golongan Protestan mengajukan pernyataan iman mereka dalam Diet Augsburg tahun 1530.[12]
Pada tahun 1540, Paus Paulus III memberikan persetujuan atas ordo Serikat Yesus (atau "Yesuit"), yang dibentuk dengan tujuan utama untuk memberantas Protestantisme.[13]
Islah Regensburg tahun 1541 adalah ikhtiar yang gagal mempersatukan kembali umat Katolik dan umat Protestan Lutheran.[12]
Di negara-negara yang "secara tradisional bersifat Roma", yaitu Prancis, Spanyol, dan Italia, dilaksanakan Inkuisisi Roma tahun 1542. Inkuisisi ini mengincar semua pihak yang dicap bidat oleh Gereja Katolik, tetapi secara khusus menyasar golongan Protestan. Secara teknis, Gereja sendiri tidak pernah menghukum mati ahli-ahli bidat (lantaran Hukum Kanon melarang penumpahan darah), tetapi menyerahkan ahli-ahli bidat kepada pemerintah untuk dihukum.[14]
Pertikaian Kaisar Jerman yang beragama Katolik dengan para Pangeran Praja yang beragama Protestan menyulut Perang Schmalkalden tahun 1547. Pihak Protestan kalah, tetapi kemudian hari Protestantisme diakui secara hukum sebagai agama yang sah.[12]
Perjanjian Damai Augsburg tahun 1555 mengizinkan umat Katolik dan umat Lutheran di Jerman untuk menganut agama pemimpinnya, apa pun agamanya.[15]
Berbeda dari negara-negara lain di Eropa, gerakan Reformasi di Prancis tidak didukung masyarakat, negara, maupun Gereja. Umat Protestan perdana di Prancis menjadi korban aniaya dalam bentuk hukuman mati atau pengasingan. Mulai dari tahun 1562, timbul konflik antara umat Protestan Hugenot dan umat Katolik. Pada tahun 1589, penobatan Henri IV yang beragama Protestan menjadi Raja Prancis melambungkan harapan umat Protestan Prancis. Meskipun demikian, setiap perombakan yang diikhtiarkannya dibuyarkan oleh persekutuan antara umat Katolik Prancis dengan Raja Spanyol yang memaksanya untuk masuk Katolik. Maklumat Nantes tahun 1598 memberi hak kepada kaum Hugenot untuk mengamalkan agamanya secara leluasa, sembari mengekalkan agama Katolik sebagai agama resmi negara.[16]
Negeri Belanda dengan cepat menyambut Reformasi dan tidak lama kemudian sudah memeluk agama Protestan. Kendati ditentang penguasa Negeri Belanda pada masa itu (Spanyol), pergerakan kemerdekaan Belanda mengenyahkan tekanan Spanyol sehingga memungkinkan Protestanisme untuk tumbuh dan berkembang.[16]
Seantero Skandinavia mengadopsi Lutheranisme pada abad ke-16, ketika kepala negara Denmark (sekaligus Norwegia dan Islandia) dan kepala negara Swedia (sekaligus Finlandia) menjadi penganut Lutheranisme.
Di Swedia, Reformasi dipelopori oleh Gustav Vasa, yang terpilih menjadi raja pada tahun 1523. Tokoh yang besar andilnya dalam usaha Reformasi di Swedia adalah Olaus Petri, seorang rohaniwan Swedia. Sengketa dengan Sri Paus seputar campur tangan Olaus Petri di dalam urusan-urusan gerejawi in Swedia bermuara pada penghentian segala hubungan resmi antara Swedia dengan kepausan mulai tahun 1523. Empat tahun kemudian, di dalam Diet Västerås, raja berhasil memaksa para peserta sidang untuk mengakui kedaulatannya atas gereja nasional. Raja diserahi kepemilikan atas seluruh harta benda gereja, pengangkatan pejabat gereja wajib dilakukan atas seizin raja, kaum rohaniwan harus menaati hukum sipil, serta "Firman Allah yang murni" harus dikhotbahkan di gereja-gereja dan diajarkan di sekolah-sekolah. Keputusan-keputusan Diet Västerås tersebut secara efektif memberikan persetujuan resmi kepada gagasan-gagasan Lutheran. Suksesi apostolik dipertahakan di Swedia selama berlangsungnya Reformasi. Adopsi Lutheranisme juga menjadi salah satu alasan utama meletusnya Perang Dacke, pemberontakan rakyat tani di Småland.
Pada masa pemerintahan Raja Frederik I (tahun 1523–1533), Denmark secara resmi tetap Katolik. Raja Frederik mula-mula berikrar untuk menindas golongan Lutherans tetapi dengan cepat mengadopsi kebijakan melindungi para pengkhotbah dan reformator Lutheran, yang paling terkenal adalah Hans Tausen. Sepanjang masa pemerintahannya, Lutheranisme berhasil menggaet cukup banyak pengikut dari kalangan masyarakat Denmark. Pada tahun 1526, Raja Frederik mengharamkan penyelenggaraan upacara investitur uskup di Denmark oleh lembaga kepausan. Pada tahun 1527, ia mewajibkan uskup-uskup baru untuk menyetor bea kepada raja, dan dengan demikian menjadikan dirinya kepala gereja Denmark. Putra Frederik, Pangeran Christian, secara terang-terangan menganut Lutheranisme, sehingga membuatnya tidak terpilih menjadi raja sepeninggal ayahnya. Pada tahun 1536, sesudah memenangkan Perang Bupati, Pangeran Christian naik takhta menjadi Raja Christian III dan meneruskan usaha reformasi gereja negara dengan bantuan Johannes Bugenhagen. Pada masa reses Kopenhagen bulan Oktober 1536, kewenangan uskup-uskup Katolik ditiadakan.
Pengaruh Martin Luther lebih dulu sampai ke Islandia ketimbang titah Raja Christian III. Nelayan-nelayan Jerman menangkap ikan di dekat pesisir Islandia, dan saudagar-saudagar Liga Hansa berdagang dengan orang-orang Islandia. Orang-orang Jerman tersebut membentuk sebuah jemaat Lutheran di Hafnarfjörður seawal-awalnya pada tahun 1533. Melalui hubungan dagang dengan Jerman, banyak pemuda Islandia berkesempatan menuntut ilmu di Hamburg.[20] Pada tahun 1538, ketika titah raja tentang ordinansi gereja yang baru akhirnya sampai ke Islandia, Uskup Ögmundur beserta para rohaniwannya menyuarakan penentangan, mengancam akan mengekskomunikasi siapa saja yang mengikuti "bidat" Jerman. Pada tahun 1539, Raja mengutus gubernur baru ke Islandia, Klaus von Mervitz, mengemban amanat untuk menghadirkan perubahan dan mengambil alih harta benda gereja. Klaus Von Mervitz menyita sebuah biara di Viðey dengan bantuan sheriff-nya, Dietrich Von Minden, beserta para serdadu yang dipimpinnya. Lantaran mendepak para rahib dan menyita semua harta benda biara, mereka langsung diekskomunikasi oleh Uskup Ögmundur.
Inggris dan Skotlandia menjadi negara-negara Eropa yang paling lama bertransformasi dalam menanggapi Reformasi. Raja Henry VIII mendapuk dirinya sebagai kepala gereja Inggris pada tahun 1534 sebagai tanggapan terhadap penolakan Roma untuk membatalkan perkawinannya dengan Prameswari Katerina. Meskipun demikian, ia tetap Katolik sampai akhir hayatnya. Reformasi di Inggris secara resmi dimulai pada masa pemerintahan Raja Edward VI (tahun 1547–1553) dipimpin Uskup Agung Canterbury, Thomas Cranmer. Ratu Mary (tahun 1553–1558) menindas umat Protestan demi menegakkan kembali agama Katolik di negeri Inggris. Ironisnya, kebijakannya justru membuat umat Protestan semakin teguh berpegang kepada keimanan mereka. Ratu Elizabeth I mengikuti arah angin bertiup dan mengukuhkan Protestantisme sebagai agama negara Inggris untuk selama-lamanya.[22] Secara keseluruhan, reformasi di Inggris mengakibatkan penyitaan seluruh harta benda Gereja Katolik di Britania, aniaya terhadap kaum rohaniwan, dan tumbangnya agama Katolik sebagai sebuah kekuatan sosial politik yang penting kawasan itu.[4]
Pada tahun 1618, perang kemerdekaan Belanda berakhir, dan Kerajaan Katolik Spanyol kehilangan kedaulatannya atas Negeri Belanda. Bagian terbesar dari perang kemerdekaan Belanda dianggap sebagai perang atas dasar agama.[16]
Pada abad ke-17, ketegangan hubungan Protestan-katolik meningkat, khususnya di Jerman, sehingga menyulut Perang Tiga Puluh Tahun dari tahun 1618 sampai 1648. Perang ini meluluhlantakkan sebagian besar Eropa Tengah dan memecah-belah benua Eropa menjadi negeri-negeri Katolik dan negeri-negeri Protestan. Baik bangsa Swedia, Denmark, maupun Prancis terlibat dalam perang ini. Perang Tiga Puluh Tahun berpuncak pada Perjanjian Damai Westfalen tahun 1648 yang memberi golongan Kalvinis dan golongan Lutheran hak-hak yang sama dengan umat Katolik.[23]
Warga koloni New England benar-benar sarat dengan kecurigaan terhadap agama Katolik, sehingga akhirnya mengundang-undangkan pengusiran semua rohaniwan katolik pada tahun 1647. Pada tahun 1689, sidang wakil rakyat koloni Maryland mengharamkan tindakan membaptis orang menjadi Katolik di luar dari keluarga-keluarga yang memang sudah beragama Katolik, mengharamkan perayaan Misa, dan lain-lain.[10]
Pada tahun 1685, Raja Louis XIV mencabut Maklumat Nantes, sehingga menimbulkan aniaya terhadap umat Protestan di Prancis.[23]
Inggris dan koloni-koloninya yang beragama Protestan terus-menerus merasa was-was terhadap Gereja Katolik. Amerika Utara secara khusus memusuhi Gereja Katolik. Pada tahun 1700, semua rohaniwan Katolik yang berimigrasi ke Amerika dipenjarakan begitu menjejakkan kakinya di New England. Pada tahun 1725, warga London keturunan Spanyol, Antonio Gavin, menulis buku A Master Key to Popery, yang diadopsi sekte-sekte Protestan di seluruh Kemaharajaan Inggris. Gavin menyifatkan rohaniwan Katolik sebagai "serigala berbulu domba", sengaja mengajarkan doktrin sesat, haus akan kekuasaan, dan sebagainya. Sentimen-sentimen yang sama dikhotbahkan di seluruh Kemaharajaan Inggris, baik dalam ruang lingkup hukum, akademis, maupun keagamaan. Pada tahun 1731, Hakim Agung Massachusetts, Paul Dudley, menulis An Essay on the Merchandize of Slaves and Souls of Men: With Application thereof to the Church of Rome, yang menyifatkan Gereja Katolik sebagai Gereja Roma yang mata duitan. Di samping karya-karya tulis yang lain, esai Paul Dudley tersebut kelak dijadikan sumber acuan dalam penyusunan materi kuliah umum tahunan mengenai "Deteksi, Pembuktian, dan Pembentangan Penyembahan Berhala Gereja Roma". Jonathan Mayhew, gembala jemaat Gereja Barat Boston, juga berkhotbah tentang penyembahan berhala transubstansiasi dan tindakan menyetarakan tradisi lisan dengan Kitab Suci. Pada akhir abad ke-18, seperangkat undang-undang baru diperkenalkan di Amerika Utara jajahan Inggris guna membendung arus imigrasi umat katolik dan mencabut hak milik umat Katolik yang sudah berdiam di kawasan itu. Pada tahun 1757, umat Katolik dicabut haknya untuk memiliki senjata. Antikatolisisme dengan segera erat dikaitkan dengan nasionalisme. Itulah sebabnya ketika desas-desus hubungan gelap Gereja Katolik dengan monarki Inggris merebak, warga koloni lebih memilih untuk berontak melepaskan diri dari Inggris. Sikap semacam ini berkontribusi terhadap Revolusi Amerika (tahun 1765–1783). Meskipun demikian, para revolusionaris pada akhirnya meninggalkan sikap tersebut karena mereka bergantung kepada aliran dana dari negara Katolik Prancis, juga demi menghindari konflik dengan warga koloni Katolik Maryland, Philadelphia, dan Quebec.[24]
Bertolak belakang dengan sikap-sikap semacam itu, Undang-Undang Quebec tahun 1774 justru memberikan perlindungan bagi umat Protestan Inggris maupun umat Katolik Prancis di Kanada.[24]
Pada dasawarsa 1800-an, berlangsung suatu kurun waktu yang dikenal dengan sebutan Kebangunan Dahsyat Kedua di kalangan umat Protestan Amerika Serikat. Tokoh-tokoh utamanya, seperti Charles Grandison Finney (tahun 1792–1875), menganjurkan penentangan terhadap agama Katolik Roma sebagai salah satu wujud kedurjanaan. Lembaga Alkitab Amerika – sebuah organisasi Protestan – menganjurkan persatuan denominasi-denominasi Protestan demi memerangi agama Katolik. Ada prasangka yang mendalam di kalangan umat Protestan terhadap lembaga kepausan.[25]
Pada tahun 1821, dan sekali lagi pada tahun 1825, Dewan Rakyat Inggris membahas rancangan undang-undang berkenaan dengan emansipasi umat Katolik. Baik pada tahun 1821 maupun pada tahun 1825, rancangan undang-undang tersebut ditolak lantaran mempertimbangkan hakikat Dewan Bangsawan Inggris yang sangat Protestan.[4]
Negara Katolik Austria mengakui Protestantisme sebagai sebuah agama yang sah pada dasawarsa 1860-an.[26]
Pada tahun 1871, para pemuka Protestan Jerman melancarkan program kulturkampf (pergumulan budaya) yang melandasi penganiayaan terhadap Gereja Katolik di Jerman. Biro Katolik di Kementerian Pendidikan Jerman ditiadakan, dan imam-imam yang terang-terangan menunjukkan sikap politiknya diterdakwakan. Pada tahun 1872, para Yesuit diusir dari Jerman.[27]
Pada tahun 1895, Paus Leo XIII mengupayakan islah dengan Gereja Inggris lewat surat apostolik Ad Anglos. Meskipun demikian, pada tahun 1896, Sri Paus menegaskan superioritas Katolik dan menyatakan tahbisan Anglikan tidak sah[28] di dalam bula Apostolicae curae.
Banyak perkembangan terjadi di dalam relasi Katolik-Protestan pada abad ke-20. Pada tahun 1910, Konferensi Misionaris Internasional diselenggarakan di Edinburgh sebagai suatu upaya untuk mempersatukan gereja-gereja non-Roma. Denominasi-denominasi Protestan menindaklanjuti peluang untuk bersatu tersebut dengan hasil yang beragam. Wakil-wakil Katolik menghadiri konferensi tersebut, tetapi hanya sebagai pengamat.[29]
Temu wicara di Mechelen (tahun 1923–1927) adalah pembicaraan-pembicaaan di antara beberapa wakil Gereja Katolik dan Gereja Inggris yang dihentikan oleh Paus Pius XI. Tidak ada perubahan nyata yang dihasilkan.[30]
Pada tahun 1950, Gereja Katolik Roma kian memperlebar kesenjangan dengan Protestantisme ketika menakwilkan dan menguatkuasakan doktrin Santa Maria Diangkat ke Surga pada masa jabatan Paus Pius XII.[30]
Konsili Vatikan II (tahun 1962–1965) berniat untuk bergerak menuju kesatuan Christian dari semua denominasi. Kesatuan doktrinal tercapai hingga taraf tertentu dengan bermacam-macam denominasi, dan sebuah "Alkitab bersama"[a] diperkenalkan.[30]
Lebih dari 75% Katolik
Relatif mayoritas Katolik
Lebih dari 75% Ortodoks Timur
50–75% tidak beragama
Relatif mayoritas tidak beragama
30% Katolik, 30% tidak beragama (Jerman)
Dijiwai semangat Vatikan II, Gereja Katolik sudah mengambil pendekatan yang lebih terbuka terhadap persatuan Kristen dengan umat Protestan maupun Ortodoks Timur.[30] Meskipun demikan, banyak serpihan denominasi Protestan ala Amerika-Inggris yang teramerikanisasi masih saja sarat dengan kesangsian terhadap Gereja Katolik.[32][33] Oikumenisme dengan sekte-sekte semacam itu tampak mustahil.[24]
Pada tahun 2015, Paus Fransiskus menyebut perpecahan umat Kristen sebagai "hasil karya bapa segala dusta [iblis]." Sri Paus menambahkan pula bahwa iblis tahu "semua orang Kristen adalah murid Kristus: bahwa mereka itu satu, bahwa mereka bersaudara! Dia [iblis] tidak peduli apakah mereka itu orang Injili atau Ortodoks, Lutheran, Katolik atau Apostolik… Dia tidak peduli! Pokoknya mereka adalah orang Kristen!"[30][34][35]
Pada tahun 2016, Paus Fransiskus melakukan lawatan ke Lund, Swedia, dan berpartisipasi dalam perayaan yang diselenggarakan untuk menyongsong peringatan 500 tahun Reformasi.[36] Setahun kemudian, Biro Pers Vatikan menerbitkan prangko khusus untuk memperingati 500 tahun Reformasi; perangko tersebut menampilkan gambar Luther dan Melanchton berlutut di hadapan Yesus yang tersalib.[37][38]