Sejarah pemakaian gelar sultan di Indonesia
Pada asalnya, sultan diartikan sebagai kekuasaan. Namun, pada masa Dinasti Seljuk mengungguli Kekhalifahan Abbasiyah, gelar sultan berubah makna menjadi penguasa.
Gelar sultan semakin populer digunakan oleh para penguasa kesultanan pada masa pemerintahan Dinasti Mamluk di Mesir (1250-1517) dan mencapai puncaknya pada masa kekuasaan Turki Ottoman.
Di antara para penguasa Turki Ottoman atau Kesultanan Utsmaniyah, Bayazid I (1389-1402) yang kali pertama memakai gelar sultan.
Di Indonesia, raja Islam yang pertama kali memakai gelar sultan adalah Meurah Silu, yang bergelar Sultan Malik as-Saleh, seperti tertera pada nisan kuburnya.
Sultan Malik as-Saleh adalah pendiri sekaligus raja pertama Kerajaan Samudera Pasai yang berkuasa antara tahun 1267 hingga 1297.
Baca juga: Hikayat Raja-raja Pasai: Isi dan Ringkasan Ceritanya
Dari Hikayat Raja-Raja Pasai diketahui bahwa Meurah Silu masuk Islam berkat pertemuannya dengan Syekh Ismail, seorang utusan Syarif Mekkah.
Meurah Silu kemudian diberi gelar Sultan Malik as-Saleh dan gelar itu tercantum dalam nisannya yang terdapat di kampung Samudra, Lhokseumawe, Provinsi Aceh.
Setelah itu, raja-raja Muslim di Nusantara umumnya juga menggunakan gelar sultan.
Penulis dan bendahara Portugis, Tome Pires, dalam catatannya menyebut bahwa pada abad ke-16, para penguasa Muslim yang utama di Nusantara semuanya memakai gelar sultan, sedangkan raja-raja kecil cukup puas dengan gelar raja.
Kerajaan Samudra Pasai, ditinjau dari segi geografi dan sosial-ekonomi, merupakan daerah penting yang menghubungkan Nusantara dengan India dan Arab, sehingga lebih dulu tersentuh pengaruh Islam.
Di Jawa dan Sulawesi, gelar sultan baru dipakai pada sekitar permulaan abad ke-17.
Berdasarkan himpunan hukum adat Aceh yang tercantum dalam Adat Makuta Alam yang tersusun lengkap pada masa Sultan Iskandar Muda, pengangkatan sultan melalui serangkaian prosesi.
Baca juga: Sultan Mahmud Malik Az Zahir, Pembawa Kejayaan Samudera Pasai
Menurut lembaran sejarah adat yang berdasarkan hukum (Syara'), dalam pengangkatan sultan harus semufakat hukum dengan adat.
Oleh karena itu, ketika dinobatkan, sultan berdiri di atas tabal, ulama memegang Al Quran berdiri di kanan, perdana menteri yang memegang pedang berdiri di kiri.
Pada umumnya, di tanah Aceh, pangkat sultan turun kepada anak.
Sultan diangkat oleh rakyat atas mufakat dan persetujuan ulama dan orang-orang besar cerdik pandai.
Adapun orang-orang yang diangkat menjadi sultan dalam hukum agama harus memiliki syarat-syarat bahwa ia mempunyai kecakapan untuk menjadi kepala negara, cakap mengurus negeri, hukum dan perang, sera mempunyai kebijaksanaan dalam hal mempertimbangkan dan menjalankan hukum adat.
Gajah Mada, karya Muhammad Yamin
Banyak pihak menilai, abad ke-20 merupakan masa kejayaan peradaban Minangkabau. Hal ini ditandai dengan besarnya peran mereka dalam lima lini pokok kehidupan bermasyarakat di Indonesia (dan Nusantara pada umumnya). Dari lima bidang tersebut, yakni : politik, ekonomi, budaya, ilmu pengetahuan, serta sosial keagamaan, Minangkabau telah melahirkan ratusan bahkan ribuan ahli yang kompeten di bidangnya. Para ahli itu, yang telah go internasional dan bahkan melegenda antara lain : Tan Malaka, Hatta, Sjahrir, Tuanku Abdul Rahman, Yusof Ishak (politik); Hasyim Ning, Abdul Latief, Tunku Tan Sri Abdullah (ekonomi/bisnis); Chairil Anwar, Muhammad Yamin, Sutan Takdir Alisjahbana, Usmar Ismail, Soekarno M. Noer (budaya); Emil Salim, Sheikh Muszaphar Shukor, Taufik Abdullah, Azyumardi Azra (ilmu pengetahuan); serta Agus Salim, Hamka, Natsir, Tahir Jalaluddin, Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, dan Syafii Maarif (sosial-keagamaan).
Namun dari itu, sedikit sekali orang yang mengetahui kejayaan Minangkabau di masa lampau. Menurut hasil penelitian Mochtar Naim yang dituangkan dalam disertasinya “Merantau”, sejak dahulu kala orang-orang Minang telah banyak berkontribusi dalam pembentukan peradaban Nusantara. Dan diantara mereka banyak pula yang menjadi raja ataupun pendiri sebuah kerajaan. Dalam tulisan kali ini, kita akan melihat sepak terjang raja-raja asal Minangkabau, yang memerintah di banyak negeri seantero Nusantara.
Dapunta Hyang Sri Jayanasa, dipercaya sebagai pendiri imperium besar Sriwijaya. Menurut tambo alam Minangkabau, Dapunta Hyang berasal dari lereng Gunung Merapi, yang kemudian melakukan migrasi bersama sejumlah penduduk setempat. Dengan mengaliri Sungai Kampar dari pedalaman Minangkabau, Dapunta Hyang beserta rombongannya tiba di bibir pantai Selat Malaka. Mereka terus melanjutkan perjalanan ke selatan hingga bertemu muara Sungai Musi. Dari sini mereka mencoba memudiki Sungai Musi dan berjumpa lereng Gunung Dempo. Dari lereng gunung inilah kemudian Dapunta Hyang beserta rombongannya membangun sebuah kedatuan yang berpusat di tepian Sungai Musi.
Prasasti Kedukan Bukit
Kisah perjalanan Dapunta Hyang dari tanah Minang, terukir jelas dalam Prasasti Kedukan Bukit. Prasati itu bercerita tentang rombongan Dapunta Hyang yang selamat melakukan perjalanan dan penyerangan dari Minanga, bersama serombongan pasukan yang melewati darat maupun laut. Hingga saat ini, penafsiran isi prasasti tersebut masih simpang siur. Poerbatjaraka berpendapat bahwa Minanga (atau Minanga Tamwan) merupakan hulu pertemuan dua sungai Kampar, yang berada di luhak Lima Puluh Koto. Dan Minanga Tamwan diprediksi sebagai asal usul nama Minangkabau. Sedangkan para ahli lainnya seperti George Coedes dan Slamet Muljana, justru berteori bahwa Minanga merupakan kerajaan taklukan Dapunta Hyang yang terletak di hulu Batanghari. E.S Ito dalam novelnya “Negara Kelima”, juga menyinggung mengenai migrasi Dapunta Hyang dari Minangkabau ke Palembang. Dikatakannya bahwa Dapunta Hyang telah menghiliri Sungai Batanghari sampai ke muara Jambi, dan kemudian melanjutkan perjalanannya dengan berjalan kaki hingga ke tepian Sungai Musi. Menurutnya Dapunta Hyang adalah salah seorang pembesar Minangkabau, yang ingin mengembalikan kejayaan imperium Atlantis.
Putra Minangkabau lainnya yang duduk di tampuk kekuasaan adalah Kalagamet. Dia merupakan raja Majapahit kedua yang memerintah pada tahun 1309-1328. Kalagamet yang bergelar Sri Jayanagara, beribukan Dara Petak seorang permaisuri yang berasal dari Kerajaan Dharmasraya. Pada masa berkuasa, dia mengangkat saudara sepupunya yang juga keturunan Minangkabau, Adityawarman, sebagai duta untuk negeri Tiongkok. Adityawarman adalah putra Dara Jingga, permaisuri Dharmasraya lainnya yang bersuamikan Adwayawarman. Di masa pemerintahan Tribhuwana Tunggadewi, Adityawarman naik jabatan sebagai wreddhamantri atau perdana menteri kerajaan. Dalam posisi strategis itu, dia membangkang kepada Tribhuwana dan melecehkan Majapahit. Pada tahun 1347, dia pulang kampung ke Sumatra dan mendirikan Kerajaan Pagaruyung. Kerajaan ini merupakan penerus wangsa Mauli yang telah berkuasa di Sumatra selama hampir satu setengah abad. Pada abad ke-14, Kerajaan Pagaruyung memiliki daerah taklukan ke hampir seluruh wilayah Sumatra dan Semenanjung Malaysia. Kekuasaannya atas Nusantara barat, merupakan balance of power bagi Majapahit yang berkuasa di bagian tengah kepulauan.
Museum Adityawarman di Padang
Selain Jayanagara dan Adityawarman, tokoh Majapahit lainnya yang dipercaya berasal dari Minangkabau adalah Gajah Mada. Namanya mengikuti genre jago silat Minang lainnya seperti Harimau Campa, Gajah Tongga, atau Anjing Mualim. Sebagian orang memperkirakan, Gajah Mada merupakan putra seorang pendekar Minangkabau yang ikut mengantarkan Dara Petak dan Dara Jingga ke Majapahit. Namun Ridjaluddin Shar dalam novelnya “Maharaja Diraja Adityawarman: Matahari di Khatulistiwa”, malah berpendapat sebaliknya. Menurutnya Gajah Mada adalah anak dari salah seorang pasukan Pamalayu yang menikahi gadis Minangkabau. Asal usul Gajah Mada memang penuh misteri dan tanda tanya. Hingga saat ini belum ada sejarawan yang berhasil mengungkap kelahiran dan kematian tokoh besar tersebut, kecuali hanya dugaan-dugaan awal saja. Yang jelas, Gajah Mada merupakan simbol kebesaran Majapahit dan persatuan Indonesia. Ketika ia ditunjuk sebagai perdana menteri pada masa pemerintahan Hayam Wuruk, dalam Sumpah Palapa ia bernazar akan menaklukkan seluruh Nusantara di bawah panji Majapahit. Namun janjinya tersebut tak sempat terwujud, sampai akhirnya kerajaan itu runtuh pada awal abad ke-16.
Muhammad Yamin, seorang pakar hukum, ahli sejarah, budayawan, dan salah satu founding fathers Indonesia, merupakan pengagum berat sosok Gajah Mada. Kekagumannya mungkin juga dikarenakan pertalian darah yang sama sebagai putra Minangkabau. Usahanya dalam merekonstruksi peran Gajah Mada dalam buku setebal 112 halaman, merupakan salah satu bentuk kegandrungannya. Impian Gajah Mada mempersatukan Nusantara, telah mengilhaminya untuk menggabungkan seluruh jajahan Hindia-Belanda dalam satu kesatuan wilayah politik. Pada bulan Oktober 1928, cita-citanya itu benar-benar terwujud. Dalam sebuah ikrar bersama yang kelak dikenal dengan Sumpah Pemuda, Yamin berhasil menyatukan seluruh komponen rakyat Hindia-Belanda, dalam satu bangsa, bahasa, dan tanah air.
Sultan Hassanal Bolkiah, salah seorang raja keturunan Minang
Pada tahun 1390, seorang pengelana Minangkabau yang kemudian berjuluk Raja Bagindo, mendirikan Kesultanan Sulu. Tak banyak riwayat mengenai raja yang satu ini, kecuali para keturunannya yang menjadi pelaut ulung. Kabarnya mereka sangat ditakuti oleh pedagang-pedagang Eropa yang acap melintasi perairan utara Nusantara. Mohd. Jamil al-Sufri dalam bukunya “Tarsilah Brunei: The Early History of Brunei up to 1432 AD” menyebutkan, bahwa dari silsilah raja-raja Brunei Darussalam, diketahui bahwa pendiri kerajaan ini : Awang Alak Betatar atau yang bergelar Sultan Muhammad Shah, berasal dari Minangkabau. Selain itu raja-raja Serawak di Kalimantan Utara, juga banyak yang berasal dari Minangkabau. Hal ini berdasarkan informasi para bangsawan Serawak, yang ditemui Hamka pada tahun 1960. Kamardi Rais Dt. Panjang Simulie dalam bukunya “Mesin Ketik Tua” juga memerikan berita bahwa ketika James Brook dirajakan di Serawak, yang melantiknya adalah datuk-datuk asal Minangkabau.
Sultan Buyong, anak dari raja Indrapura yang bertahta di Pesisir Selatan, pernah berkuasa di Kesultanan Aceh pada tahun 1586-1596. Buyong (Buyung ?) naik menjadi raja, berkat pengaruh dan kekuatan para pedagang Minang yang berniaga di Kutaraja. Sebelum itu kakak ipar Buyong, Sultan Sri Alam, juga sempat bertahta di Kesultanan Aceh (1575-1576). Sri Alam berkuasa melalui kudeta berdarah hulubalang Minangkabau, yang disebut-sebut telah berkomplot dalam pembunuhan Sultan Muda. Untuk menyingkirkan pengaruh Minangkabau dari Kerajaan Aceh, sekaligus membalaskan dendam kematian Sultan Muda, pada tahun 1596 ulama-ulama Aceh melakukan pembunuhan berencana terhadap Buyong. Dengan terbunuhnya Buyong maka berakhirlah pengaruh Indrapura di tanah rencong. Kesultanan Indrapura yang beribu kota di Indrapura (selatan Painan), merupakan pecahan dari Kerajaan Pagaruyung. Pada paruh kedua abad ke-16, kesultanan ini memiliki pengaruh yang cukup luas di pesisir barat Sumatra. Wilayahnya menjangkau daratan Aceh di utara hingga Bengkulu di selatan.
Sultan Abdul Jalil Rahmad Syah I atau yang dikenal dengan Raja Kecil adalah salah seorang putra Pagaruyung pendiri Kesultanan Siak Sri Indrapura. Sebelum mendirikan Kesultanan Siak pada tahun 1723, Raja Kecil sempat bertahta di Kesultanan Johor (1717-1722). Namun kekuasaannya tak bertahan lama, karena aksi kudeta yang dilancarkan Bendahara Abdul Jalil dan pasukan Bugis. Di masa pemerintahannya, Kesultanan Siak melakukan perluasan teritori hingga ke wilayah Rokan, dan berhasil membangun pertahanan armada laut di Bintan. Pada tahun 1740-1745, Siak menaklukkan beberapa kawasan di Semenanjung Malaysia. Dan 40 tahun kemudian, wilayah kekuasaannya telah meliputi Sumatra Timur, Kedah, hingga Sambas di pantai barat Kalimantan.
Istana Siak Sri Indrapura
Di Semenanjung Malaysia, Raja Melewar yang merupakan utusan Pagaruyung, menjadi raja bagi masyarakat setempat. Pada tahun 1773, konfederasi sembilan nagari di Semenanjung Melayu, membentuk sebuah kerajaan yang diberi nama Negeri Sembilan. Kerajaan ini terbentuk pasca derasnya arus migrasi Minangkabau ke wilayah tersebut. Seperti halnya masyarakat di Sumatra Barat, rakyat Negeri Sembilan juga menggunakan hukum waris matrilineal serta model adat Datuk Perpatih. Pada tahun 1957, Tuanku Abdul Rahman yang merupakan keturunan Raja Melewar, menjadi Yang Dipertuan Agung Malaysia pertama.
Di Tapanuli, Sisingamangaraja yang dipercaya sebagai Raja Batak, juga berasal dari Minangkabau. Hal ini berdasarkan keterangan Thomas Stamford Raffles yang menemui para pemimpin Batak di pedalaman Tapanuli. Mereka menjelaskan bahwa Sisingamangaraja adalah seorang keturunan Minangkabau yang ditempatkan oleh Kerajaan Pagaruyung sebagai raja bawahan (vassal) mereka. Hingga awal abad ke-20, keturunan Sisingamangaraja masih mengirimkan upeti secara teratur kepada pemimpin Minangkabau melalui perantaraan Tuanku Barus.
Lihat pula : 1. Perantau Minang di Malaysia 2. Orang Minang, Peran, dan Pencapaiannya 3. Mencari Akar Dinamisasi Minangkabau
PWMJATENG.COM – Indonesia, sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, memiliki sejarah yang kaya akan keberagaman budaya dan agama. Salah satu elemen penting dalam sejarah Indonesia adalah keberadaan kerajaan-kerajaan Islam yang memainkan peran krusial dalam perkembangan politik, ekonomi, dan budaya di Nusantara. Raja-raja Islam di Indonesia tidak hanya berperan sebagai pemimpin politik, tetapi juga sebagai penyebar agama dan penjaga stabilitas sosial di wilayah kekuasaannya.
Islam mulai masuk ke Nusantara pada abad ke-7 melalui jalur perdagangan. Para pedagang dari Arab, Persia, dan India membawa ajaran Islam bersamaan dengan barang dagangan mereka. Seiring waktu, ajaran Islam mulai diterima oleh penduduk lokal, terutama di pesisir utara Sumatera, Jawa, dan Sulawesi. Proses Islamisasi ini kemudian didukung oleh berdirinya kerajaan-kerajaan Islam yang menjadi pusat penyebaran agama.
Menurut sejarawan Anthony Reid, “Islamisasi di Asia Tenggara adalah proses yang unik karena berlangsung melalui perdagangan, pernikahan, dan patronase politik, bukan melalui penaklukan militer.” Hal ini memungkinkan Islam untuk tumbuh dan berkembang dengan cara yang damai, serta berakulturasi dengan budaya lokal yang sudah ada.
Kerajaan Samudera Pasai di Aceh dianggap sebagai kerajaan Islam pertama di Indonesia, didirikan pada awal abad ke-13. Sultan Malik al-Saleh, raja pertama Samudera Pasai, memeluk Islam dan menjadikan kerajaan ini sebagai pusat penyebaran agama di wilayah Sumatera. Samudera Pasai menjadi penting tidak hanya karena peran politiknya, tetapi juga sebagai pusat perdagangan internasional yang menghubungkan Nusantara dengan Timur Tengah dan India.
Dalam konteks ini, Kerajaan Samudera Pasai memainkan peran penting dalam membangun jaringan perdagangan maritim yang luas dan mempromosikan Islam sebagai agama resmi kerajaan. Sejarawan Denys Lombard menyatakan bahwa “Samudera Pasai adalah contoh nyata dari bagaimana Islam mampu beradaptasi dan berkembang di tengah-tengah masyarakat yang heterogen di Nusantara.”
Pada abad ke-15, Kesultanan Demak muncul sebagai kekuatan politik dan agama di Jawa. Didukung oleh Wali Songo, para ulama yang berperan dalam penyebaran Islam di Jawa, Kesultanan Demak menjadi kerajaan Islam pertama di pulau tersebut. Raden Patah, pendiri Kesultanan Demak, memainkan peran penting dalam mengkonsolidasikan kekuatan politik Islam di Jawa, serta mendukung penyebaran ajaran Islam ke wilayah-wilayah sekitarnya.
Kesultanan Demak juga berperan dalam mengintegrasikan elemen-elemen budaya lokal dengan ajaran Islam, menciptakan tradisi Islam yang unik di Jawa. Dalam bukunya, “Islam in Java”, Clifford Geertz menyebutkan bahwa “Islam di Jawa berkembang dengan cara yang sinergis, di mana ajaran agama diadaptasi dengan tradisi dan budaya lokal, menciptakan bentuk Islam yang khas di Nusantara.”
Kesultanan Aceh Darussalam di Aceh, yang berdiri pada abad ke-16, adalah salah satu kerajaan Islam terbesar dan terkuat di Indonesia. Sultan Iskandar Muda, salah satu raja terbesar Kesultanan Aceh, memperluas wilayah kekuasaan dan memperkuat posisi Aceh sebagai pusat perdagangan dan penyebaran Islam di Nusantara bagian barat. Aceh juga dikenal sebagai “Serambi Mekkah” karena peran sentralnya dalam menghubungkan Nusantara dengan dunia Islam, terutama dalam hal pendidikan agama dan ibadah haji.
Menurut Azyumardi Azra, seorang sejarawan dan cendekiawan Islam Indonesia, “Kesultanan Aceh adalah contoh bagaimana Islam dan politik dapat berintegrasi untuk membangun kekuatan regional yang berpengaruh. Aceh tidak hanya menjadi benteng pertahanan Islam di Nusantara, tetapi juga pusat intelektual Islam yang melahirkan banyak ulama dan cendekiawan.”
Di wilayah timur Indonesia, Kesultanan Ternate dan Tidore memainkan peran penting dalam penyebaran Islam dan pengendalian jalur perdagangan rempah-rempah. Kedua kesultanan ini bersaing, namun juga bekerja sama dalam mempertahankan kedaulatan mereka melawan penjajah Eropa. Sultan Baabullah dari Ternate dikenal sebagai salah satu pemimpin yang berhasil mengusir Portugis dari wilayah Maluku dan memperkuat posisi Islam di kawasan tersebut.
Sejarawan MC Ricklefs mencatat bahwa “Kesultanan Ternate dan Tidore tidak hanya memainkan peran dalam perdagangan, tetapi juga dalam menyebarkan Islam di wilayah timur Indonesia, membentuk jaringan diplomasi yang kuat dengan kerajaan-kerajaan Islam lainnya di Nusantara.”
Raja-raja Islam di Indonesia meninggalkan warisan yang tak ternilai bagi bangsa ini. Mereka tidak hanya membentuk identitas politik dan agama Nusantara, tetapi juga berkontribusi dalam perkembangan budaya, ekonomi, dan sosial yang masih terasa hingga kini. Keberadaan kerajaan-kerajaan Islam ini menunjukkan bagaimana Islam di Indonesia berkembang dengan cara yang unik, berakulturasi dengan budaya lokal, dan menciptakan kekuatan politik yang signifikan di kawasan Asia Tenggara.
Sebagai negara dengan penduduk mayoritas Muslim terbesar di dunia, warisan raja-raja Islam ini terus menjadi bagian penting dari identitas dan sejarah Indonesia. Dengan memahami sejarah kerajaan-kerajaan Islam ini, kita dapat menghargai lebih dalam kontribusi mereka dalam membentuk bangsa Indonesia yang beragam, inklusif, dan penuh toleransi.
Masa lalu yang kaya akan kejayaan kerajaan-kerajaan Islam ini mengingatkan kita akan pentingnya menjaga harmoni antara agama dan negara, serta menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan, kemanusiaan, dan kemajuan yang diwariskan oleh para pendahulu kita.
Editor : M Taufiq Ulinuha
Jumlah Pengunjung : 1,335
Andalusia merupakan sebutan bagi wilayah kedaulatan Islam di Semenanjung Iberia. Sejak abad kedelapan, sebagian besar daerah di ujung barat Eropa itu berada dalam kendali Bani Umayyah.
Bahkan, pada 929 M Abdurrahman III memproklamasikan berdirinya kekhalifahan baru di sana, guna menyaingi Abbasiyah di Asia dan Fatimiyah di Afrika Utara. Kota Kordoba kemudian ditetapkannya sebagai pusat pemerintahan.
Memasuki abad ke-11 M, Kekhalifahan Kordoba kian bersengkarut akibat berbagai prahara politik. Akhirnya, negara Umayyah di Andalusia itu pun runtuh. Dalam dua dekade, yakni 1010-1030 M, antarelite Muslim setempat hanyut dalam persaingan demi mempertahankan kekuasaan. Mereka berambisi melemahkan lawan-lawan politiknya yang sesungguhnya saudara seiman walaupun harus bekerja sama dengan kerajaan-kerajaan Kristen di perbatasan.
Prof Raghib as-Sirjani dalam Bangkit dan Runtuhnya Andalusia (2013) menuturkan, sejumlah ulama dan bangsawan berkumpul di Kordoba pada 1031 M/422 H.
Pertemuan yang dipimpin qadi agung Kordoba Abu al-Hazm bin Jahur itu sampai pada kesimpulan yaitu tidak ada lagi kalangan Bani Umayyah yang layak untuk mengatur urusan negeri. Hadirin kemudian setuju untuk membentuk sebuah dewan syura yang berfungsi menjalankan roda pemerintahan negara.
Bagaimanapun, pengaruh para elite Kordoba sesungguhnya hanya menjangkau kota tersebut. Adapun bagian-bagian lainnya dari keseluruhan Andalusia tidak memedulikan (bekas) jantung kekuasaan Umayyah itu. Setiap dari mereka menganggap diri merdeka sepenuhnya.
Dengan perkataan lain, Andalusia benar-benar sudah terpecah. Yang dahulunya bersatu di bawah bendera yang sama, kini memaklumkan kedaulatan.
As-Sirjani mengatakan, itulah awal dari masa Duwailat ath-Thawa`if atau Muluk ath-Thawa`if. Menurut Morony dalam The Encyclopaedia of Islam (1993), secara kebahasaan muluk ath-thawa`if berarti ‘raja-raja yang menguasai bagian-bagian teritorial.’
Istilah itu mulanya merujuk pada situasi di bumi Iran pada masa antara penaklukan Iskandar yang Agung (336-323 SM) dan terbentuknya Imperium Persia (224 M). Dalam kurun waktu tersebut, kawasan itu terbagi-bagi menjadi kerajaankerajaan kecil yang saling bertempur, alih-alih bersatu.
Sejarawan Muslim dari abad ke-11, Said al-Andalusiy, kemudian mengadopsi terminologi itu untuk menjelaskan keadaan Andalusia pasca jatuhnya Daulah Umayyah.
Wilayah Muslimin di Iberia kala itu mencakup sekira 450 ribu km persegi. Region seluas itu mewujud sebagai negeri-negeri kecil (thawa’if) yang independen satu sama lain. Jumlahnya puluhan, tetapi yang terkuat di antaranya adalah 22 negara.
Masing-masing dipimpin dinasti yang berlainan serta menerapkan struktur pemerintahan yang lengkap: mulai dari pemimpin, kementerian, pasukan militer, hingga duta-duta besar. Mereka telah kehilangan unsur paling utama dalam kekuatan, yaitu persatuan, tulis as-Sirjani.
Munculnya thawa`if (tunggal: tha`ifah) itu tentunya membuat suka cita raja-raja Kristen Eropa. Sebab, mereka sudah lama menghendaki kemunduran Islam di Iberia. Secara geografis, kerajaan-kerajaan, seperti Leon, Kastila, Navarra, dan Aragon berbatasan dengan sisi utara Andalusia.
Sejak bubarnya Dinasti Umayyah, mereka kian berani mengganggu daerah-daerah perbatasan. Bahkan, kelompok-kelompok yang lemah secara militer atau ekonomi dipaksanya untuk menyerahkan upeti. (UYR/Republika)
KOMPAS.com - Kerajaan-kerajaan di Nusantara mulai berubah menjadi kesultanan pada abad ke-13.
Perubahan menjadi kesultanan dan pemakaian gelar sultan oleh para penguasanya merupakan salah satu bukti awal mengenai islamisasi di Asia Tenggara.
Raja Islam di Indonesia yang pertama kali memakai gelar sultan adalah Meurah Silu, yang bergelar Sultan Malik as-Saleh.
Sultan Malik as-Saleh adalah pendiri sekaligus raja pertama Kerajaan Samudera Pasai, yang diyakini sebagai kerajaan Islam pertama di Indonesia.
Baca juga: Apa Kerajaan Islam Pertama di Indonesia?
Sampaikan Cerita/Opini Ini Melalui :
Belanja di App banyak untungnya: